Bermusik bagi para musisi bisa
berfungsi sebagai kritik dan mensosialisasikan pemikirannya. Karena jenis, gaya
dan lirik dalam sebuah lagu menyampaikan pesan yang diinginkan. Sebut saja
Slank, Pink Floyd, Iwan Fals, Beatles, efek rumah kaca merupakan group band
yang tidak hanya menyuguhkan kepiawaiannya dalam bermusik melainkan menjadikan
lagu sebagai cara untuk mengekspresikan sikapnya dalam merespon realitas
sosial, politik negara maupun situasi dunia
internasional
Saya tidak akan membahas
keseluruhan band yang menyuguhkan pemikiran dan sikapnya terhadap fenomena yang
terjadi di jamannya melainkan, mengulas sebuah group band yang bisa dibilang
legendaris. Slank merupakan salah satu group band besar di Indonesia, pada awal
kemunculan memberikan warna baru bagi dinamika musik di Indonesia. Slank
membawa spirit bagi kehidupan anak muda dan karenanya banyak yang mengandrungi
pemikiran dan gaya hidupnya. Pada awal kemunculannya, Slank hadir sebagai
musisi yang ‘gandrung’ menyikapi fenomena yang terjadi pada sosial dan negara
sekaligus memberikan kehidupan kondisi ideal versi Slank yang dituangkan dalam
lirik-lirik lagunya
Berbagai album yang diluncurkan
oleh Slank merupakan cerminan realitas sosial budaya yang menurutnya begitu
diskriminatif,’salah’ dan sewenang-wenang. Lirik lagu feodalisme warisan
kompeni, Pak Tani, Ladies Night di Eboni, Generasi Biru, Pulau biru dan masih
banyak lainnya menerangkan perilaku budaya hura-hura, diskriminasi dan
penghormatan yang berlebihan pada orang tua yang mengabaikan atas kebenaran
Secuplik lagu Feodalisme warisan
kompeni yang diliris oleh Slank pada era -90-an mendobrak praktek budaya
warisan penjajahan yang masih tumbuh subur di Indonesia dengan dinyatakan
begitu lugas. Simak saja Lirik dibawah
ini;
Salah nggak salah, sama atasan
slalu diturutin
Maunya seumur hidup minta-minta
dihormatin
Nang ……… ning ……… nang ……
ning-nang-ning …… gung
Feodalisme …… WARISAN KOMPENI !!
Bagus nggak bagus orang yang kuat
s’lalu Berkuasa !
Absolute …… segala-galanya
dia-dia yang paling perintah ……
Pintar nggak pintar orang
bertitel …… pasti ! …… didengar
Banyak bicara …… sepertinya
dia-dia yang paling pintar !
Benar nggak benar …… yang lebih
tua …… sudah pasti benar
Suruh-menyuruh, larang-melarang
dia-dia yang paling benar
Tutup kuping, palingkan muka dan
diam saja ……
Kalau Bos Manipulasi …… nggak
apa-apa
Lirik lagu tersebut jelas
menyiratkan kondisi sosial dan politik di Indonesia yang masih mengagungkan
kekuasaan, gelar dan kekayaan menjadi mutlak memiliki kebenaran. Masyarakat
Indonesia, dalam interaksinya, masih menganggap bahwa mereka yang memiliki
title, kaya dan memiliki jabatan seolah pemilik kebenaran dan karena situasi
menguntungkannya itu mampu melarang-larang, merasa paling pintar dan bebas
melakukan segala hal dan di ‘wajarkan’ oleh sosialnya.
Kebosanan Slank terhadap perilaku
budaya tersebut disandingkan dengan kompeni. Simbolisasi kompeni yang
sebagaimana kita ketahui bahwasannya kompeni merupakan pasukan Belanda yang dahulu
pernah melakukan penjajahan di Indonesia. Dengan demikian, Slank ingin
menyiarkan bahwasannya Indonesia telah merdeka pun masih terdapat budaya lama
yang masih tumbuh sumbur di Indonesia. Selain itu, bentuk perilaku title,
jabatan dan kaya yang suka mengatur, melarang-larang, merasa paling pintar dan
paling benar merupakan praktek diskriminasi, mengabaikan perilaku humanisme,
mirip kesenjangan dan perlakuan diskriminasi yang terjadi pada masa lampau,
dimana dahulu hukum dibuat untuk melindungi masyarakat Belanda dan bahkan ada
‘kasta’ dimana Inlander sebutan untuk warga Indonesia oleh Belanda merupakan
‘kasta’ paling rendah
Perubahan status Indonesia
menjadi negara merdeka tidak serta merta mekanisme budaya feodal terkikis,
melainkan masih berlangsung di Indonesia. Lagu yang lugas dan bernada
perlawanan terhadap perilaku diskriminasi dan sewenang-wenang itulah merupakan
spirit dalam lagu ini. Selain, tentu berusaha mendobrak tembok tradisi kokoh
masa lampau yang membedakan manusia berdasarkan title, kekayaan dan jabatan.
Aura rebelian yang muncul dari
setiap musik-musiknya banyak digandrungi oleh kaum muda pada saat itu yang
notabene memiliki jiwa ‘evaluatif’. Evaluasi terhadap praktek budaya negatif
yang jauh dari perlakuan egaliterian dan memihak kaum kaya. Gaya rebelian yang
slange-an merupakan sikap kejumudan dan kepenatan atas kondisi soal pada saat
itu.
Dengan kata lain, Slank mampu
membawa pengaruh dan ‘menyebarkan’ pemikirannya dengan bermusik. Terbukti,
Slanker sebutan bagi pengandrung slank begitu setia dan loyal dengan group band
tersebut yang kebanyakan dari kalangan muda dan remaja. Namun kini meski Slank
masih eksis, aura rebelian dan kritik-kritik sosialnya makin meredup, seiring
dengan dinamika yang dirasakannya. Perubahan formasi dan ‘menua’-nya group band
ini menjadi semakin ramah dengan pasar. Lirik-lirik cinta universal yang
menjadi ‘tuntutan’ pasar kerap dilantunkan yang mengeser spirit group band
tersebut di awal kemunculannya.
Dari para pengandrungnya pun
mengalami perluasan dari hanya diminati oleh kaum muda dan remaja, kini
lirik-lirik Slank pun semakin ramah dan diminati dari anak-anak hingga orang
tua dan merangkul semua segmen masyarakat. Perluasan segmen justru
‘menyurutkan’ spirit rebelian dan kehilangan daya dobraknya sebagai group band
yang melakukan kritik terhadap sosial.
Slank melaju dengan dinamika
bermusik yang kini ramah pasar, tentu saja itu pilihan bagi para musisi untuk
tetap eksis dan bebas berekspresi apapun. Namun, bermusik tidak hanya bernuansa
hiburan semata melainkan di dalamnya terdapat pemikiran, sikap terhadap sosial
dan memberikan gaya hidup bagi masyarakat. Bukan sesuatu yang salah Slank
kemudian mengambil posisi demikian, namun musik-musik yang memiliki seperangkat
pemikiran dan ideologi memiliki jiwa yang tak pernah lekang dengan waktu. Saya
sendiri masih merindukan group band yang memiliki seperangkat sikap dan
pemikiran atas realitas sosial, budaya dan politik sebagai pilihan dalam
bermusiknya. Karena dengan begitu, musik memiliki nilai lebih tidak hanya
menyajikan sebuah hiburan yang kemudian dilupakan oleh banyak orang.
0 komentar:
Posting Komentar